Thursday, May 10, 2012

Tasik Meninjau

Tasik Meninjau

Tasik Maninjau adalah sebuah tasik (danau) vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Tasik dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. 
Tasik ini terbentang luas dan mempunyai pemandangan yang sungguh menakjubkan dan nyaman sekali.
Dari jauh lagi awan kelihatan seperti berada di atas air, bayangan ini disebabkan awan di sini begitu rendah berbanding di tempat lain.Untuk ke tasik ini, kami terpaksa malalui kelok 44 dimana jalan sangat beliku-liku da macam litar sepang, tapi sangat cantik..

Menurut cerita,  Tasik  Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh sebab perbuatan manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah tasik yang luas. Apa yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi tasik? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Tasik Maninjau ini!

Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Singgalang(kini sbgai Gunung Tinjau). Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, kerana mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur dan seperti abu gunung.

Di salah satu perkampungan di kaki Gunung  Singgalang  itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, dipanggil Sani. Kedua orang tua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi ketua rumah. Semua keputusan ada di tangannya.

Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orang tua mereka. Untuk memenuhi keperluannya, mereka mengusahakan tanah pertanian yang cukup luas warisan kedua orang tua mereka. Mereka sangat mahir bertani, kerana mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh pak cik mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang dipanggil oleh mereka sbgai Engku.

Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh anak saudaranya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka mahir bertani dan pelbagai tata cara adat daerah itu. Datuk Limbatang jarang sekali mengajak isteri dan putranya ikut serta bersamanya kerumah anak saudaranya.

Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama isteri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.

Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”


“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.

Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”


Alangkah senang hati Giran mendengar jawapan dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia kerana cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun kerana bimbang akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia,  kerana  hal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.

Ketika musim menuai tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan kejayaan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, iaitu berlawan ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut mengambil bagian dalam acara tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorakan penonton pun terdengar menyokong jaguh masing-masing. Tak lama kemudian, panitia segera memukul gong menunjukan acara dimulakan. Rupa-rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Kedua-duanya saling berhadapan di tengah gelanggang untuk saling berlawan ketangkasan. Sesiapa yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih ada satu peserta lagi yang belum bertarung, iaitu si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang sama kuat.
“Hai, Giran! Datanglah kalau berani!” cabar Kukuban.

“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.

“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Singgalang, Datuk Limbatang bersama isterinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orang tua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercucuk tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.

“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Ya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, kerana ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.

Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.

“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.

“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama isterinya.

Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamarnya mendengar semua pembicaraan mereka. Dia sangat bersedih mendengar putusan abang sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang dia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.

“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.

Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada kain sarungnya.
“Alamak, kain sarungku terkoyak!” teriak Sani panik.
“Eh, nampaknya pehamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun ubat-ubatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar disebalik pepohon dan segera mengepung kedua-keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa orang kampung.

“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Benar! Kamu telah melakukan perbuatan terlarang. Kamu harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” jerit salah seorang dari orang kampung tersebut.

Akhirnya, Giran dan Sani diheret ke kampung menuju ke tempat persidangan. Kukuban bersama kelapan saudaranya dan beberapa orang kampung menjadi saksi bahawa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Singgalang agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.

Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Singgalang. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung  Singgalang  dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.

“Wahai semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Kerana itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Sesungguhnya kau maha mengetahui,aku bermohon agar kau dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”

Sesudah berdoa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Kedua-duanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang ada. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, nasib mereka semuanya malang . Letusan Gunung Singgalang semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tiada seorang pun yang terselamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.

Demikian cerita Asal Usul Tasik Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung  Singgalang itu menjadikan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi tasik. Disebabkan oleh masyarakat sekitar selalu meninjau gunung tersebut, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi  Gunung Tinjau dan tasiknya sebagai Tasik Meninjau.

Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama negeri di sekitar Tasik Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.

Cerita di atas termasuk dalam kategori legenda yang memberi pengajaran positif yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan seharian. Salah satu moral yang dapat dipetik, iaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban sanggup menfitnah Giran dan Sani iaitu adik dan sepupunya sendiri telah melakukan perbuatan terlarang.Dalam kejadian ini, kita dapat lihat sifat dendam mendorong seseorang,mengkhianati & menganiayai orang lain, dan fitnah membawa padah kerana sesungguhnya fitnah itu dosanya lebih besar daripada membunuh..Sesungguhnya Allah S.W.T itu maha mengetahui, maha adil dan saksama.Dialah penentu segalanya..
Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Bak kata orang Melayu:

siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat

Kini Tasik tersebut di jadikan tempat mencari rezeki kepada nelayan-nelayan kampung.
Walaubagaimanapun sehingga sekarang gunung tersebut masih lagi meletus sesekalinya dan menyebabkan ikan mati dan air tasik menjadi hitam dan berbau busuk..Akan tetapi penduduk tidak mengetahui bila akan meletusnya gunung tersebut dan perlu sentiasa bersedia..
Masyarakat kawasan berhampiran juga percaya bahawa ikan sumpahan itu masih lagi ada dan bagi sesiapa yang jumpa ikan Bujang Sembilan akan pasti akan menerima musibah...
Kawasan ini juga di katakan keras dan tidak boleh pergi di waktu senja @ malam

Kesimpulannya tasik ini terbentuk disebabkan kuasa Allah yang meletuskan gunung berapi dan menjadikanya sebagai tasik.





pantulan awan dan bukit di atasa permukaan air jelas kelihatan..
btol2 menakjubkan...









Keadaan tasik dari jauh

Penjaja sekitar Tasik
ok gak...boleh laa aku beli buah tangan @ keychain..

2 comments:

  1. Assalamualaikum Tuan/Puan.

    Salam dari Kita Holidays Travel & Tour Indonesia.
    Kalau Tuan/Puan nak melawat ke Indonesia, jangan risau hati sila hubungi :

    KITA HOLIDAYS TRAVEL & TOUR INDONESIA
    Tour operator & Travel Agency

    Sebuah serikat yang punya legalitas di Indonesia, memberikan pengkhidmatan tour ground handling di beberapa daerah yang favorit untuk di lawati. Kami arrange secara profesional dan dengan penuh rasa kekeluargaan, juga dengan harga tour yang sangat berpatutan sekali seperti ke : Padang dan Bukittinggi Tour, Aceh Tour, Medan Tour, Jakarta dan Bandung Tour, Jogjakarta Tour, Bali Muslim Tour dan sewa kenderaan.

    Contact person : Amsyahril
    Mobile : +6285263007445
    E-Mail : am_holidays@yahoo.com / kita_holidays@yahoo.com / kitaholidays@yahoo.com.


    ReplyDelete