Tasik Meninjau
Tasik Maninjau adalah sebuah tasik (danau) vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Tasik dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat.
Tasik ini terbentang luas dan mempunyai pemandangan yang sungguh menakjubkan dan nyaman sekali.
Dari jauh lagi awan kelihatan seperti berada di atas air, bayangan ini disebabkan awan di sini begitu rendah berbanding di tempat lain.Untuk ke tasik ini, kami terpaksa malalui kelok 44 dimana jalan sangat beliku-liku da macam litar sepang, tapi sangat cantik..
Menurut cerita,
Tasik Maninjau pada awalnya
merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang
luas. Oleh sebab perbuatan manusia, gunung berapi itu meletus dan
membentuk sebuah tasik yang luas. Apa yang menyebabkan
gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi tasik? Kisahnya dapat
Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Tasik Maninjau ini!
Alkisah,
di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat
tinggi bernama Gunung Singgalang(kini sbgai Gunung Tinjau). Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang
luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya
hidup makmur dan sejahtera, kerana mereka sangat rajin bertani. Di
samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur dan seperti abu gunung.
Di
salah satu perkampungan di kaki Gunung
Singgalang itu tinggal sepuluh
orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang
perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan.
Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua,
Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda
bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah
seorang perempuan bernama Siti Rasani, dipanggil Sani. Kedua
orang tua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak
sulung menjadi ketua rumah. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh
bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua
orang tua mereka. Untuk memenuhi keperluannya, mereka mengusahakan tanah pertanian yang cukup luas warisan kedua orang tua mereka. Mereka
sangat mahir bertani, kerana mereka rajin membantu ayah dan ibunya
ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing
oleh pak cik mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang dipanggil oleh mereka
sbgai Engku.
Datuk
Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang
putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki
tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan
warganya, termasuk kesepuluh anak saudaranya tersebut. Untuk itu,
setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara
untuk mengajari mereka mahir bertani dan pelbagai tata cara
adat daerah itu. Datuk Limbatang jarang sekali mengajak isteri dan
putranya ikut serta bersamanya kerumah anak saudaranya.
Pada
suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama isteri dan Giran berkunjung
ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling
berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu
sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di
sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun
mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah
lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah
lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa
elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan
itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga
suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah
nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika
roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah
senang hati Giran mendengar jawapan dari Sani. Ia benar-benar merasa
bahagia kerana cintahnya bersambut.
Maka
sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya,
keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun kerana bimbang akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus
terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu,
keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia,
kerana hal
tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak
menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah
Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja
di sawah.
Ketika
musim menuai tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang
melimpah. Untuk merayakan kejayaan tersebut, para pemuka adat dan
seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, iaitu berlawan ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut
gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera
mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula
Kukuban dan Giran turut mengambil bagian dalam acara tersebut.
Pada
hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah
lapang. Sorakan penonton pun terdengar menyokong jaguh masing-masing. Tak lama kemudian, panitia segera memukul gong menunjukan acara dimulakan. Rupa-rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama
tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Kedua-duanya
saling berhadapan di tengah gelanggang untuk saling berlawan ketangkasan.
Sesiapa yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan
peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya.
Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena
gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun
yang mampu mengalahkannya. Masih ada satu peserta lagi yang belum bertarung, iaitu si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang sama kuat.
“Hai,
Giran! Datanglah kalau berani!” cabar Kukuban.
“Baiklah,
Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan
langsung menyerang Kukuban.
Maka
terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya,
Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun
semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat
kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia
terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara
bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari
serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah
tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu
lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh,
sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di
tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya,
tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu
lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang
tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran
karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam
tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa
bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya
terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika
cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Singgalang, Datuk
Limbatang bersama isterinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan.
Kedatangan orang tua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara
bercucuk tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan
pinangan Giran kepada Sani.
“Maaf,
Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat
hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa
maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Ya,
Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik
saja?” sambung Kaciak.
“Memang
benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang
sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini,
Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami
bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,”
ungkap Datuk Limbatang.
“Pada
dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa
senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang
baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun,
baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar
suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak!
Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,”
seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia
pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak
pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa
kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang
pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan
tenang.
“Ada,
Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang
perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku
dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil
menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya
yang patah.
“Oooh,
itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal
kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan
itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk
Limbatang.
“Tapi,
Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,”
sambut Kukuban.
“Aku
kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata
Datuk Limbatang.
“Ah,
itu kata Engku, kerana ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan
Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan
tangannya ke lantai.
Semua
yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu
pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang.
Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf,
Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran.
Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran
apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng
mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah,
Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu,
kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah
tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang
membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu
perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban
hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya
mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar,
tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap
tidak mau menerimanya.
“Ketahuilah,
Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu,
kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah
tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang
membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu
perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban
hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya
mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar,
tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap
tidak mau menerimanya.
“Terserah
Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik
kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata
Kukuban dengan ketus.
“Baiklah,
Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga
suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang
seraya berpamitan pulang ke rumah bersama isterinya.
Rupanya,
Siti Rasani yang berada di dalam kamarnya mendengar semua pembicaraan
mereka. Dia sangat bersedih mendengar putusan abang sulungnya itu.
Baginya, Giran adalah calon suami yang dia idam-idamkan selama ini.
Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari
ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang
dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama.
Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga
menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di
tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk
merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa
yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah,
Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam
keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci
dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa
lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan
jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat
duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada
kain sarungnya.
“Alamak, kain sarungku terkoyak!” teriak Sani panik.
“Eh, nampaknya pehamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati
lukamu itu!” ujar Giran.
Giran
pun segera mencari daun ubat-ubatan di sekitarnya dan meramunya.
Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu
mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar
disebalik pepohon dan segera mengepung kedua-keduanya. Mereka adalah
Bujang Sembilan bersama beberapa orang kampung.
“Hei,
rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran
dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak
menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap
mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun,
Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani
yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar
pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!”
bentak Kukuban.
“Benar! Kamu telah melakukan perbuatan terlarang. Kamu harus
dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” jerit salah seorang dari orang kampung tersebut.
Akhirnya,
Giran dan Sani diheret ke kampung menuju ke tempat persidangan.
Kukuban bersama kelapan saudaranya dan beberapa orang kampung menjadi saksi bahawa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang
yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah
melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun
persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat
yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan
dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang
ke kawah Gunung Singgalang agar kampung tersebut terhindar dari
malapetaka.
Keputusan
itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung
Singgalang. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung
Singgalang dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir
kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman
dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang
apa pun. Kerana itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah
itu, Giran menadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya
Tuhan! Sesungguhnya kau maha mengetahui,aku bermohon agar kau dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang
benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah
gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah,
letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Sesudah berdoa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah.
Kedua-duanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang
menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika
Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka
semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh
Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan
diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar
dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan
semua yang ada. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan
diri. Namun, nasib mereka semuanya malang . Letusan Gunung Singgalang semakin dahsyat
hingga gunung itu luluh lantak. Tiada seorang pun yang terselamat. Bujang
Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian
cerita Asal Usul Tasik Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia.
Konon, letusan Gunung
Singgalang itu menjadikan kawah yang luas dan
lama-kelamaan berubah menjadi tasik. Disebabkan oleh masyarakat sekitar selalu meninjau gunung tersebut, nama
gunung itu kemudian diabadikan menjadi
Gunung Tinjau dan tasiknya sebagai Tasik Meninjau.
Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama negeri di sekitar Tasik Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama negeri di sekitar Tasik Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita
di atas termasuk dalam kategori legenda yang memberi pengajaran positif yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan seharian. Salah satu moral yang dapat dipetik, iaitu akibat buruk yang ditimbulkan
oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban sanggup menfitnah
Giran dan Sani iaitu adik dan sepupunya sendiri telah melakukan perbuatan terlarang.Dalam kejadian ini, kita dapat lihat sifat dendam mendorong seseorang,mengkhianati & menganiayai orang lain, dan fitnah membawa padah kerana sesungguhnya fitnah itu dosanya lebih besar daripada membunuh..Sesungguhnya Allah S.W.T itu maha mengetahui, maha adil dan saksama.Dialah penentu segalanya..
Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Bak kata orang Melayu:
Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Bak kata orang Melayu:
siapa
tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat
Walaubagaimanapun sehingga sekarang gunung tersebut masih lagi meletus sesekalinya dan menyebabkan ikan mati dan air tasik menjadi hitam dan berbau busuk..Akan tetapi penduduk tidak mengetahui bila akan meletusnya gunung tersebut dan perlu sentiasa bersedia..
Masyarakat kawasan berhampiran juga percaya bahawa ikan sumpahan itu masih lagi ada dan bagi sesiapa yang jumpa ikan Bujang Sembilan akan pasti akan menerima musibah...
Kawasan ini juga di katakan keras dan tidak boleh pergi di waktu senja @ malam
Kesimpulannya tasik ini terbentuk disebabkan kuasa Allah yang meletuskan gunung berapi dan menjadikanya sebagai tasik.
pantulan awan dan bukit di atasa permukaan air jelas kelihatan..
btol2 menakjubkan...
Keadaan tasik dari jauh
Penjaja sekitar Tasik
ok gak...boleh laa aku beli buah tangan @ keychain..
wah cantiknya tmpat nie.
ReplyDeleteAssalamualaikum Tuan/Puan.
ReplyDeleteSalam dari Kita Holidays Travel & Tour Indonesia.
Kalau Tuan/Puan nak melawat ke Indonesia, jangan risau hati sila hubungi :
KITA HOLIDAYS TRAVEL & TOUR INDONESIA
Tour operator & Travel Agency
Sebuah serikat yang punya legalitas di Indonesia, memberikan pengkhidmatan tour ground handling di beberapa daerah yang favorit untuk di lawati. Kami arrange secara profesional dan dengan penuh rasa kekeluargaan, juga dengan harga tour yang sangat berpatutan sekali seperti ke : Padang dan Bukittinggi Tour, Aceh Tour, Medan Tour, Jakarta dan Bandung Tour, Jogjakarta Tour, Bali Muslim Tour dan sewa kenderaan.
Contact person : Amsyahril
Mobile : +6285263007445
E-Mail : am_holidays@yahoo.com / kita_holidays@yahoo.com / kitaholidays@yahoo.com.