Jam
Gadang adalah nama
untuk menara
jam mirip Big
Ben yang terletak di
pusat kota
Bukittinggi, Sumatera
Barat, Indonesia.
Menara jam ini memiliki jam dengan
ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, dimana
bila diterjemahkan dari bahasa
Minang ke dalam bahasa
Indonesia bermaksud "jam
besar".
Selain
sebagai pusat
penanda kota
Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek
wisata dengan
dibangunkan taman di
sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang riadah, santai dan berniaga bagi masyarakat baik di hari kerja maupun di hari cuti.
Sehingga acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di
sekitar taman dekat menara jam ini, salah satunya adalah sebagai
titik permulaan etape 4 Tour
de Singkarak 2011.
Stuktur
Jam
Gadang memiliki tapak seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam
menara jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat,
dimana tingkat paling atas merupakan tempat penyimpanan bandul.
Bandul tersebut telah patah dan telah diganti akibat gempa pada
tahun 2007.
Terdapat
4 jam dengan diameter masing-masing
80 cm pada Jam Gadang, dimana mesin jam dan permukaan jam terletak
pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Jam tersebut datangnya dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan
Teluk Bayur dan bergerak secara automatik yang
hanya dibuat 2 unit di dunia, iaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big
Ben di London,Inggris.
Jam
Gadang dibina tanpa menggunakan besi peyangga
dan acuan semen.
Campurannya hanya kapur, putih
telur,
dan pasir putih. Keunikan dari Jam Gadang sendiri adalah pada
kesalahan tulisan nombor
Romawi empat
(IV) di tulis "IIII". Kesalahan
penulisan tersebut juga sering terjadi di tempat lain, seperti nombor 9 yang ditulis "VIIII" (sepatutnya IX) ataupun nombor
28 yang ditulis "XXIIX" (sepatutnya XXVIII).
Sejarah
Jam
Gadang dibina pada tahun 1926 sebagai
hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau
controleur Fort
de Kock (sekarang sbgai kota
Bukittinggi)
pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazin Sutan Gigi Ameh,
sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook
Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Kos pembinaan Jam Gadang sekitar 3.000 Golden,
kos ini merupakan kos paling tinggi pada waktu itu. Sehingga sejak
dibangun dan sejak dirasmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat
perhatian setiap orang. Hal itu menyebabkan Jam Gadang
kemudiannya dijadikan sebagai penanda atau markah
tanah dan juga menjadi pusat utama kepada kota
Bukittinggi.
Sejak
didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada
bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa
pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada
Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan
menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan
Jepun pula diubah menjadi
bentuk klenteng.
Terakhir setelah Indonesia merdeka,
atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada
rumah adat Minangkabau, Rumah
Gadang.
Perubahan terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh
Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan kerjasama pemerintah
kota Bukittinggi dan kedutaan
besar Belanda di Jakarta.
Perubahan tersebut dirasmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi
yang ke-262 pada 22
Desember 2010.
Pemandu kereta kuda sedia menunggu pelanggan
Jam Gadang di waktu malam
menari bersama upin
complex di Jam Gadang
plaza berhampiran Jam Gadang
Pasar di Jam Gadang
di sini ternyata harga barang lebih murah berbanding tempat lain
No comments:
Post a Comment